Rabu, 20 Oktober 2010

Pemimpin yang Bangga dan Bisa Dibanggakan

Barangkali pada sebuah batu kali hitam kita bisa belajar tentang apa itu rasa bangga dan tanggung jawab. Sembilan ratus tujuh puluh tiga tahun yang lalu di sebuah desa di Krian, Jawa Timur, sebuah prasasti didirikan. Prasasti berupa batu kali hitam ini berbicara tentang seorang pemimpin yang gelisah.  Pada waktu itu kehidupan memang sedang tidak mudah, banjir yang berkepanjangan di Bengawan Brantas menjebol tanggul-tanggul rakyat. 
Di mana-mana sawah rusak. Panen gagal dan kehidupan rakyat di hilir Bengawan Brantas begitu sengsara. Raja Airlangga, si pemimpin yang gelisah ini kemudian membuat tanggul besar didaerah waringin sapta, yang di kerjakan dengan giat bersama rakyatnya. Dalam situasi sulit ini pendapatan negara dari sektor pajak berkurang drastis, karena para petani yang merupakan penyumbang pajak sawahnya banyak yang rusak. Dan di sinilah rasa bangga dan cinta tanah air menemukan pembuktiannya. Raja Airlangga menerapkan kebijakan pengurangan pajak untuk daerah-daerah yang sering terkena be ncana, justru pada saat penerimaan pajak negara sedang turun. Ia ingin perekonomian rakyatnya segera pulih dan bangkit.  Rasa bangga adalah tentang sikap. Ia bukanlah sekadar perasaan senang karena begitu lahir tiba-tiba berada di sebuah wilayah yang kaya dan indah. Karena rasa bangga adalah tentang sikap, maka mereka yang lahir di tempat gersang, kering, panas dan kekurangan air seperti di daerah Gunung Kidul pun tetap berhak atas rasa ini. Jika rasa bangga ini hinggap pada seorang pemimpin maka ia akan menjadi pemimpin yang gelisah, yang akan memastikan kedaulatan negaranya tetap terjaga, yang akan memastikan bahwa rakyatnya mendapatkan haknya tentang keadilan dan kemakmuran serta kesempatan berkarya. Pemimpin yang di hinggapi rasa bangga akan menciptakan negara menjadi semacam rumah yang nyaman untuk rakyatnya, dimana rakyat tau bahwa di sana mimpi-mimpi mendapatkan haknya untuk tidak ditertawakan.  
Tentang pemimpin yang bangga ini Salahuddin Wahid dalam sebuah essainya memberikan sebuah contoh bagus, ia memotret kebijakan Jusuf Kalla yang memerintahkan banyak pabrik gula milik BUMN untuk menggunakan jasa para insinyur dari PT Rekayasa Industri untuk melakukan overhaul mesin-mesin mereka, menggantikan para insinyur dari luar negeri. Kebijakan ini setiap tahun menghemat dana ratusan miliar rupiah. Jusuf Kalla telah membuktikan bahwa ia bangga dengan manusia Indonesia. Jusuf Kalla juga memerintahkan membeli lebih dari 100 tank produksi Pindad, supaya memungkinkan Pindad mendirikan pabrik untuk produk itu sehingga lebih bersaing. Ia telah membuktikan bahwa ia pemimpin yang bangga dengan produksi negerinya.  Pemimpin yang bangga dengan negerinya tidak akan tinggal diam melihat bencana yang rutin menyapa rakyatnya, lalu berlindung di balik kalimat "bahwa itu adalah banjir musiman". Apalagi jika sebelum terpilih sang pemimpin sudah menepuk dada agar kita "menyerahkan pada ahlinya". Kita punya ribuan insinyur dan ribuan ahli tata kota, mustahil kalau banjir tak mampu diatasi. Barangkali satu-satunya yang tidak kita miliki adalah tekad kuat dan niat baik serta effort lebih dari pemimpin untuk benar-benar menuntaskan masalah ini.  
Negeri kita adalah negeri yang sangat kaya, namun karena sedikitnya pemimpin negeri yang berbangga (dalam definisi sikap) maka dengan mata telanjang di mana-mana kita bisa lihat orang hidup terlunta-lunta. Mungkin ada baiknya kita ingat pesan Gandhi untuk menyadari betapa dunia terbatas: Bumi cukup untuk kebutuhan tiap orang, namun tak akan cukup untuk ketamakan beberapa orang. Melihat bencana banjir yang tak kunjung usai, barangkali ada baiknya kita belajar tentang kearifan dari sebuah prasasti batu kali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar